Selasa, 27 Desember 2011

Penulisan Ilmiah


PENULISAN ILMIAH DAN LAPORAN ILMIAH


Laporan penelitian merupakan sebuah produk Kerja Ilmiah. Laporan tersebut mengetengahkan sebuah permasalahan, kemudian mencantumkan data-data yang dibutuhkan untuk mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut sehingga dapat didiskusikan lebih lanjut. Ataupun bisa juga setelah sebuah permasalahan dirumuskan, kita jelaskan metode yang ditempuh serta hasil-hasil yang didapatkan. Laporan dapat juga memuat ide-ide kita mengenai hasil yang didapatkan oleh peneliti lain. Laporan tersebut dapat juga memuat usulan untuk diadakannya penelitian baru berdasarkan hasil dari peneliti lain yang diragukan kebenarannya, berlawanan hasilnya atau tidak sesuai dengan hasil penelitian yang kita dapatkan.

Syarat-syarat/kriteria agar suatu penelitian dikatakan sebagai Penelitian Ilmiah

Sifat atau ciri dari penelitian:
  1. Pasif, hanya ingin memperoleh gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan
  2. aktif, ingin memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis.
  3. Posisi penelitian sendiri pada umumnya adalah menghubungkan:
(1)     Keinginan manusia,(2) permasalahan yang timbul,(3) ilmu pengetahuan, dan (4) metode ilmiah.

Ciri-ciri penelitian ilmiah adalah:
  1. Purposiveness, fokus tujuan yang jelas;
  2. Rigor, teliti, memiliki dasar teori dan disain metodologi yang baik;
  3. Testibility, prosedur pengujian hipotesis jelas
  4.  Replicability, Pengujian dapat diulang untuk kasus yang sama atau yang sejenis;
  5.  Objectivity, Berdasarkan fakta dari data aktual : tidak subjektif dan emosional;
  6. Generalizability, Semakin luas ruang lingkup penggunaan hasilnya semakin berguna;
  7. Precision, Mendekati realitas dan confidence peluang kejadian dari estimasi dapat dilihat;
  8. Parsimony, Kesederhanaan dalam pemaparan masalah dan metode penelitiannya.

Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu :
1. Sistematik Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan sesuai   
     pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kom pleks.
2. Logis.  Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
3. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
Landasan penelitian empirik ada tiga yaitu : (a). Hal-hal empirik selalu memiliki persamaan dan perbedaan (ada penggolongan atau perbandingan satu sama lain). (b). Hal-hal empirik selalu berubah-ubah sesuai dengan waktu. (c.) Hal-hal empirik tidak bisa secara kebetulan, melainkan ada penyebabnya (ada hubungan sebab akibat).

4. Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.

5. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.

A.        LANGKAH- LANGKAH  KARYA ILMIAH/ PENELITIAN
1.       Langkah Pertama: MENGGALI IDE
Tentu saja, pertama-tama adalah menggali ide atau gagasan. Menggali ide sama halnya dengan mencari inspirasi atau ilham. Dalam bahasa agama, ide dapat merupakan hidayah (petunjuk tuhan). Untuk penggalian ide, dengan demikian, kita dapat mengacu kepada bagaimana mendapatkan hidayah itu. Hidayah itu bisa diperoleh dengan beragam cara. Antara lain berupa ilham, yaitu petunjuk yang didapat melalui ilham, diberikan Tuhan kedalam hati seseorang. Hidayah  juga  didapat  melalui  akal  (hidayatul  ‘aqli)  yakni  dengan mengoptimalkan fungsi akal, daya nalar, atau pemikiran. Ide menulis pun dapat diperoleh dengan akal ini, yakni dengan cara menimbulkan pertanyaan “mengapa”, “kenapa bisa begitu”, atau “bagaimana” terhadap sebuah fenomena yang ada.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh calon peneliti pada saat akan merencanakan sebuah proposal penelitian adalah mencari masalah penelitian dan pertanyaan penelitian.Pasti muncul pertanyaan pada benak anda, “bukankah judul itu lebih penting?” Permasalahan penelitian merupakan kesenjangan antara “das Sollen” dan “das Sein” yaitu “apa yang seharusnya” dan “fakta yang ada”

Masalah yang ditemukan menjadi topik tulisan ilmiah/ penelitian. Topik terdiri atas topic umum dan topic khusus. Topik umum: pokok pembicaraan yang sifatnya luas.  Topik khusus : pokok pembicaraan yang luas namun terbatas

Contoh :     Topik umum: Menggunakan obat-obatan terlarang
                       Topik khusus: 1. Strategi untuk mencegah menggunakan obat- obatan terlarang
2.    Persepsi masyarkat terhadap penggunaan obat-obatan terlarangg
3.    Rehabilitasi pengguna obat- obatan terlarang
4.    Latar belakang remaja pengonsumsi obat-obatan terlarang,
5.     dll.


6.       MENGUMPULKAN BAHAN (REFERENSI)
Setelah mendapatkan ide untuk menulis tentang suatu masalah, maka siapkan bahan-bahan    (referensi) yang dapat mendukung pengembangan  ide  tersebut menjadi sebuah tulisan (artikel). Tentu saja, referensi dimaksud adalah buku, tulisan- tulisan, atau kliping koran tentang masalah yang akan anda tulis itu. Disinilah pentingnya anda memiliki perpustakaan pribadi atau kliping koran/majalah.Jadi, ketika sebuah ide tulisan muncul, simpan atau tuliskan ide tersebutpada buku catatan anda, lalu segera menuju perpustakaan atau rak buku anda. Temukan literatur yang membahas masalah yakan anda tulis tadi.
7.       MENULIS LAPORAN

A.      MERUMUSKAN JUDUL DARI TOPIK
Kriteria penulisan judul karya ilmiah:
1.    Judul ditetapkan sesuai topik atau masalah yang dibahas( topik yang telah mengkhusus dapat langsug menjadi judul karya ilmiah)
2.    Topik khusus diberi batasan,( misalnya tempat/ waktu)
3.    Singkat
4.    Menggunakan kata- kata denotatif
5.    Berbentuk frasa/ bukan kalimat ( tidak mengandung kata kerja bermakna melakukan tindakan, atau setap kata kerja dibendakan)




Contoh:
Topik umum: Menggunakan obat-obatan terlarang
Topik khusus: Strategi untuk mencegah menggunakan obat- obatan terlarang
Judul: Strategi Pencegahan Penggunaan Obat-obatan Terlarang bagi Remaja Early  
          Adolescence

 
 







Cara penulisan judul:
1.    Untuk judul karya tulis ditulis capital semua ( termasuk kata depan, kata sandang , dan konjungsi/ kata sambung)
2.    Sub judul karya tulis ditulis dengan model kapitalisasi (huruf awal setiap kata capital) kecuali kata depan, kata sandang , dan konjungsi/ kata sambung (ditulis huruf kecil).
3.    Judul tidak diakhiri tanda baca.

B.      LATAR BELAKANG
Unsur pokok yang harus ada dalam penulisan Latar Belakang Permasalahan adalah perlunya menonjolkan bahwa masalah itu sangat penting untuk diatasi dan menarik untuk diteliti. Sehingga fenomena problematika yang akan kita bahas menunjukkan tingkat seriousness of the problem. Tingkat keseriusan masalah ini dapat dilihat dari aspek kegawatan karena sifatnya dapat mengancam jiwa, luasnya wilayah yang terkena dampak masalah, aspek teknologi atau aspek kecemasan yang menimpa pada masyarakat. Aspek ini tentunya harus didukung data pendukung yang meyakinkan. Untuk keperluan data, maka sumber-sumber pustaka seperti jurnal ilmiah, laporan penelitian, publikasi pemerintah sangatlah penting.
Masalah yang sering dijumpai, pada awal-awal penulisan Latar Belakang Permasalahan adalah awal yang terlalu lebar dan tidak terstruktur. Meskipun konsep pembahasan dalam Latar Belakang Permasalahan itu mengikuti pola piramida terbalik, namun awal yang terlalu lebar menyebabkan kita dapat kehilangan fokus. Dengan pembahasan secara terstruktur mengikuti pola tersebut, memungkinkan kita memperoleh akhir yang mengerucut pada suatu masalah utama.
Dalam latar belakang calon peneliti memaparkan:
1.      mengapa penelitian tersebut harus dilakukan?
2.      bagaimana kalau tidak dilakukan penelitian?
3.      bagaimana kalau dilakukan penelitian?
Pada saat menjelaskan mengapa penelitian dilakukan, calon peneliti harus menjelaskan fenomena/masalah yang ada dilapangan sehingga menyebabkan perlunya untuk dilakukan penelitian. Dalam menjelaskan masalah, calon peneliti harus membandingkan antara harapan atau teori dengan kenyataan yang ada sehingga timbul kesenjangan (masalah).
Fenomena yang ada dapat diperoleh dari:
1. hasil penelitian pendahuluan (small research)
2. hasil penelitian orang lain
3. instansi lain yang sesuai
4. pengalaman calon peneliti
Data atau fenomena tersebut disusun dengan menggunakan metode deduktif atau induktif (dari umum ke khusus atau dari khusus ke umum). Contoh menggunakan metode deduktif. Dalam kesempatan ini calon peneliti ingin menjelaskan data yang berasal dari organisasi kesehatan dunia, dinas kesehatan kabupaten, dinas kesehatan provinsi, departemen kesehatan, rumah sakit kabupaten atau kota, dan unit tertentu di rumah sakit kabupaten atau kota/puskesmas/masyarakat. Maka pada saat menuliskan calon meneliti mengurutkan data.
Selanjutnya setelah menampilkan fenomena tersebut calon peneliti mengungkapkan masalah atau kesenjangan yang ada, dengan cara membandingkan antara harapan dan kenyataan. Hasil perbandingan tersebut menunjukan adanya kesenjangan yang harus dicari jalan pemecahannya. Salah satu pemecahannya adalah perlunya penelitian dilakukan untuk menjawab masalah tersebut. Setelah itu peneliti juga memberikan alasan apabila penelitian tidak dilakukan dan apabila penelitian dilakukan.


Contoh: Judul: Strategi Pencegahan Penggunaan Obat-obatan Terlarang bagi Remaja Early Adolescence
Latar belakang yang disajikan:
  • bahaya obat- obatan terlarang (data dari penelitian- penelitian yang telah dilakukan, bisa diambil dari jurnal- jurnal ilmiah atau DEPKES)
  • Harapan kehidupan remaja yang normal tanpa dipengaruhi obat- obatan terlarang.
  • Banyaknya korban meninggal dikalangan remaja karena obat-obatan terlarang( data dari Koran atau DEPKES)
  • -. banyaknya remaja yang menggunakan obat- obatan terlarang semakin meningkat ( diberi bukti data perkembangan pemakaian obat-obatan terlarang dari departemen kesehatan)
  • (uraian tentang pentingnya penelitian, berdasarkan perbandingan harapan dan kesenjangan)

 
 













C.      RUMUSAN MASALAH
Masalah penelitian merupakan masalah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian yang akan dilakukan. Masalah penelitian ditulis dalam bentuk kalimat tanya. Menggunakan kata Tanya yang bersifat problematis dan analitis ( Mengapa/ Bagaimana)




Contoh: Judul: Strategi Pencegahan Penggunaan Obat-obatan Terlarang bagi Remaja Early      Adolescence
Rumusan masalah:
  1. Mengapa remaja Early      Adolescence dapat menggunakan/ mengonsumsi obat- obatan terlarang?
  2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan bagi pencegahan penggunaan obat- obatan terlarang bagi remaja Early Adolescence?
 
 









D.      TUJUAN
Tujuan umum merupakan tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini dengan kata lain tujuan akhir dari penelitian ini. Tujuan berjumlah sama dengan rumusan masalah.





Contoh: Judul: Strategi Pencegahan Penggunaan Obat-obatan Terlarang bagi Remaja Early      Adolescence
1.       Untuk menjelaskan alasan- alasan remaja Early      Adolescence mengonsumsi obat- obatan terlarang.
2.       Untuk mendeskripsikan  strategi  bagi pencegahan penggunaan obat- obatan terlarang bagi remaja Early Adolescence?
 
 



E.       MANFAAT
Manfaat penelitian ada 2, yakni teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis berhubungan dengan keilmuan, manfaat praktis berhubungan dengan pembaca setelah membaca karya tulis.

F.       KAJIAN TEORI/ TINJAUAN PUSTAKA
(Berisi Teori yang relevan dan Kerangka berpikir)
Pustaka adalah jalan membangun kerangka berpikir, pustaka harus relevan dengan permasalahan/ judul . pustaka yang lebih lengkap akan lebih baik dalam membangun kerangka berpikir (kerangka berpikir adalah alur berpikiruntuk mencapai simpulan) .




Contoh: Judul: Strategi Pencegahan Penggunaan Obat-obatan Terlarang bagi Remaja Early      Adolescence
Tinjauan pustaka/ kajian teori:
  1. Pengertian strategi menurut ahli (sintesis teori)
  2. Berbagai strategi pencegahan
  3. Tentang obat- obatan terlarang( jenisnya, kandungan isi, efek setiap jenis obat bagi manusia)
  4. Pengertian remaja Early      Adolescence
 
 











G.     METODE PENULISAN/ PENEITIAN
Berikut ini contoh dari metode penelitian, akan tetapi setiap penelitian mempunyai metode-metode yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin di capainya. Metode penelitian adalah cara penelitian itu dilakukan. Biasanya Metode penelitian terdiri dari:
1.        Jenis/ metode  Penelitian
2.        Tempat Penelitian
3.        Waktu Penelitian
4.        Populasi, sampel / data penelitian
5.       Teknik sampling/ pengumpulan/ penyediaan data
6.       Sumber data/ Instrumen penelitian
7.       Rencana/ teknik  analisis

Jumat, 23 Desember 2011

Hari ini

hari ini tanpa puisi
tanpa bukan berarti hampa
hari ini puisi hanya makna- makna yang bergerak bersahutan
nukilan- nukilan angan yang menggelepari masa




lihat juga puisi di sini
atau di blog lain

analisis wacana


ANALISIS WACANA1
Oleh:
Nuraini Fatimah(S840809022), Maria Indratin(S840809018),  Maslikatun(S840899019), Herlan Kurniawan (S840809012)2



ABSTRAK

            Analisis wacana merupakan salah satu lingkup kajian pragmaik. Analisis wacana tidak muncul serta merta dan bukan bagian dari kajian linguistik tataran gramatikal yang jauh sebelumnya telah dikemukakan oleh para ahli linguistik struktural. Kehadiran analisis wacana sebagai displin ilmu mempunyai sejarah tersendiri. Fakta yang terjadi, analisis wacana baru muncul dan menjadi perhatian sekitar tahun pertengahan dua dasawarsa yang lalu, tepatnya ketika Zellig Harris mempublikasikan makalah berjudul Discourse Analysis pada tahun 1952. Kajian tentang wacana di Indonesia sudah dimulai pada pertengahan tahun 70-an. Analisis wacana adalah analisis tentang bahasa yang digunakan. Prakmatik merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis wacana. Data yang menjadi objek analisis wacana adalah teks beserta konteksnya. Konteks dan teks bersifat tak terpisahkan karena teks adalah bahasa yang hidup dalam suatu konteks. Teks berdasarkan bentuknya atau saluran komunikasi terdiri atas teks lisan dan tulisan. Teks lisan berupa ujaran, sedangkan teks tertulis berupa kalimat.  Konteks wacana terdiri atas konteks linguistik dan konteks situasi.
Kata kunci       : analisis wacana, konteks, teks, teks lisan, teks tertulis


1.       Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pragmatik yang diampu oleh Dr. Budhi Setiawan, M.Pd.
2.       Penulis adalah mahasiswa Program studi S2 Pendidikan Bahasa Indoesia kelas Reguler angkatan 2009 pada PPS Universitas Sebelas Maret Surakarta





A.  Latar Belakang
              Sepanjang hidupnya, manusia hampir- hampir tidak dapat lepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunkasi manusia memerlukan sarana sebagai pengungkap ide, gagasan, isi pikiran, maksud, tujuan, keinginan, penjelasan, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa paling utama adalah sebagai sarana komunikasi.
                Studi bahasa yang idealnya mencakup seluruh aspek dan komponen kebahasaan yang ada sesuai dengan kenyataan pemakaian bahasa. Studi tentang bahasa yang hanya didasarkan atas pendekatan linguistik dan gramatika bahasa dirasakan oleh para ahli memiliki keterbatasan- keterbatasan, terutama mengenai kesesuaian dengan kenyataan pemakaian bahasa  karena hanya mampu meganalisis dan mengungkapkan persoalan bahasa sampai pada tataran gramatikal. Padahal, aspek kebahasaan berupa wacana sangat penting dan tidak kalah penting apa bila dibandingkan dengan aspek kebahasaan yang lain.    Berdasarkan hal tersebut, pengkajian bahasa berdasarkan pendekatan pragmatik terhadap komponen kebahasaan yang lebih besar , yakni wacana semakin diminati. Analisis wacana sebagai suatu disiplin ilmu mencapai masa pemantapannya pada dekade 1980-an. Sejumlah buktu teks mengenai analisis wacana terbit pada saat itu, seperti Larsen-Freeman (1980), Stubbs (1983). Brown and Yule (1983), dan Van Dijk (1985). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian bidang ini tergolong masih baru. Dengan demikian teori- teori pendukung studi wacana belum sebanyak teori yang mendukung aspek- aspek kebahasaan yang lain.  
              Pragmatik pada dasarnya membahas tentang penafsiran wacana yang dikehendaki oleh penutur. Hal-hal yang dikaji dalam pragmatik diperlukan juga dalam analisis wacana. Analisis wacana (discourse analysis) membahas mengenai cara pemakai bahasa mencerna hal yang ditulis oleh para penulis dalam buku-buku teks, memahami hal yang disampaikan penyapa secara lisan dalam percakapan, dan mengenal wacana yang koheren dan yang tidak koheren. Namun studi wacana berdasarkan pendekatan pragmatik tidak mungkin mengabaikan pemanfaatan pendekatan linguistik karena komponen- komponen yang membangun wacana adalah komponen linguistik pula.
            Atas dasar pentingnya studi kebahasaan pada aspek wacana, pada kesempatan ini akan dikemukakan pembahasan mengenai analisis wacana sebagai bentuk studi kebahasaan pada tataran wacana yang menduduki fungsinya sebagai alat komunikasi.  Penyelidikan tentang wacana membuka bidang- bidang yang tidak dibatasi dan saling menembus atau berhubungan dengan disiplin ilmu bahasa yang lain. Jika kita membahas analisis wacana secara menyeluruh dan dengan pendekatan dari segala sudut, kemungkinan akan menghasilkan tulisan yang beratus- ratus lembar karena luasnya cakupan kajian tentang analisis wacana. Di hampir seluruh perguruan tinggi jurusan bahasa menempatkan kajian analisis wacana menjadi satu mata kuliah tersendiri. Oleh karena itu, perlu adanya batasan dalam membahas analisis wacana.
            Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah (1) Apakah hakikat wacana? (2) Apakah hakikat analisis wacana? (3) Bagaimanakah sejarah analisis wacana? (4) Apa sajakah data yang menjadi bahan analisis wacana?
              Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan : (1) hakikat wacana,  (2) hakikat analisis wacana, (3) sejarah analisis wacana, (4)  data yang menjadi bahan analisis wacana.

B.  Kajian Teori
1.      Hakikat Wacana
            Wacana pada dasarnya merupakan unit alamiah dengan awal (pembuka) dan akhir (penutup), dan ada sejumlah struktur internal. Unit wacana mempunyai struktur internal yang diorganisasi oleh sejumlah prinsip formal dan struktural.
Menurut Harimurti Kridalaksana, wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (1983: 179 dalam Sumarlam, 2009:5).
            Henry Guntur Tarigan (1987: 27) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
            James Deese dalam karyanya Thought into Speech: the Psychology of a Language (1984:72, sebagaimana dikutip ulang oleh Sumarlam,2009:6) menyatakan bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan, yaitu pengutaraan wacana itu.
            Definisi wacana klasik yang diturunkan dari asumsi kaum formalis (Struktural) adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di atas kalimat atau klausa” (Stubbs dalam Sumarlam,dkk, 2003: 10)
            Depdiknas(2003: 1265) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam betuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah.
            Sementara itu, Fatimah Djajasudarma(1994: 1) mengemukakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, menghubungkan proposisi yang satudengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan pernyataan (statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.
            I.G. N. Oka dan Suparno(1994: 31) menyebutkan pengertian wacana sebagai satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap. Amir Purba (2007:tClosehttp://dictum4magz.wordpress.com) mengemuka- kan bahwa wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas.
            Cook(1997: 6) berpendapat bahwa kinds of language- language in use, for communication – iscalled discourse…Berdasarkan pendapat tersebut, Cook (1997: 156) mendefinisikan wacana (discourse) sebagai stretches of language perceived to be meaningful, unified, and purposive. Sedangkan Nunan mengemukakan devinisi wacana dengan mengaitkan konteks di dalamnya. Nunan(1993: 6) mengemukakan bahwa discourse refers to language in context.
            Sejalan dengan pendapat Cook, Hasan Alwi, dkk(2000: 41) menjelaskan pengertian  wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimatkalimat itu.  Dengan demikian sebuah rentetan kalimat tidak dapat disebut  wacana jika tidak ada keserasian makna. Sebaliknya, rentetan kalimat membentuk wacana karena dari rentetan tersebut terbentuk makna yang serasi.
            Sementara itu, Norman berpendapat bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial. Norman (1997: 7) mengatakan bahwa “discourse”is use of language seen as a form of social practice….
            Dengan menggabungkan beberapa pendapat, Martutik (2009.http://pustaka.ut.ac.id) mengungkapkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional.
            Sementara itu, Sumarlam, dkk( 2003: 15) menyimpulkan dari beberapa pendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya ( dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya( dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.
            I.G.D.Oka dan Suparno (264- 269) mengemukakan unsur- unsur wacana, antara lain (a) Topik      : mengacu pada hal yang diicarakan dalam wacana.(b) Tuturan pengungkap topik: wujud konkret tuturan tersebut adalah kalimat atau untaian kalimat yang membentuk teks. (c) Kohesi dan koherensi : kohesi  adalah keruntutan kalimat yang merupakan hubungan struktural antar kalimat dalam wacana. Koherensi adalah hubungan semantik antar kalimat atau antar bagian wacana.
            Purwo Haryono(2003: 277) mengemukakan beberapa unsur berkaitan dengan wacana,yakni: (a) satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, (b) bersifat utuh, (c) berbentuk lisan atau tertulis, (c) memiliki proposisi yang saling berhubungan ntuk membentuk kohesi, (d) memiliki koherensi tinggi.
            Berdasarkan beberapa pendapat mengenai batasan wacana di atas pengertian wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antar bagian (kohesi), keterpaduan (koheren), dan bermakna (meaningful), digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial.       Berdasarkan pegertian tersebut, persyaratan terbentuknya wacana adalah penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran).  Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
            Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.

2.      Pengertian Analisis Wacana
          Istilah wacana digunakan oleh para linguis Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris discourse. Dari istilah wacana itu lahirlah istilah analisis wacana (discourse analysis).
       Pengertian analisis wacana dikemukakan oleh beberapa ahli. Pada umumnya para ahi mengemukakan,  pengertian analisis wacana melalui cara membandingkan dengan batasan wacana. Beberapa ahli menyebutkan bahwa batasan pengertian analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan atau bahasa dalam konteks sosial pemakaian bahasa.
       Stubbs di dalam Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language (1984:1) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana, sebagaimana berikut ini.
           “ (Analisis wacana) merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa dan kalimat, dan karenanya juga mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti pertukaran percakapan atau bahasa tulu\is. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi antarpenutur”.

            Selanjutnya Stubbs (1984: 7) menyatakan “However, it has become increasingly clear that a coherent view of language, ingluding syntax must take account of discourse phenomena”. Analisis wacana menggunakan aturan-aturan atau batasan-batasan bahasa. Aturan-aturan itu termasuk sintaksis atau tata kalimat dan harus memperhatikan fenomena dari wacana.
            Senada dengan yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown seperti yang dikutip ulang oleh Sarwiji (2008: 146) bahwa komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya hubungan-hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat (suprasentensial) dan tanpa adanya konteks.
            Brown and Yule ( 1996: 1) menjelaskan bahwa the analysis of discourse is, necessarily, the analysis of language in use. Sependapat dengan Brown and Yule, Nunan( 1993:7) berpendapat bahwa discourse analysis involves the study of language in use. The esertion here is the analysis of discourse involves the analysis of language use. Norman (1997: 7) mengemukakan bahwa discourse is use of language seen as a form of social practice, and discourse analysis of how textwork within sociocultural practice.
            Sejalan dengan beberapa pendapat diatas, Sarwiji Suwandi( 2008: 145) mengemukakan bahwa analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.
            Sedangkan Cook mengemukakan bahwa analisis wacana berhubungan dengan pengkajian koherensi.  Cook( 1997: 6) menjelaskan bahwa the search for what gives discourse coherence is discourse analysis.
            Tentang fokus kajian analisis wacana,  McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks dalam telaah wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is concerned with the study of the relationship between language and the context  which it is use.  Pada buku yang lain, McCharthy(1990: 52) menegaskan bahwa discourse analysis are concerned with features that connect language with the contexts in which it is used ….  Pendapat tersebut didukung  oleh Nunan(1993: 7) bahwa context is an important concept in discourse analysis.
            Kategori konteks bahasa yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh McCharthy(1997: 5), yakni … written texts of all kinds, and spoken data, from conversation to highly institutionalized forms to talk.
            Martuik (2009.http://pustaka.ut.ac.id.) menjelaskan bahwa dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan.Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai.
          Menurut  Stubbs (1983) analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji penggunaan bahasa di atas kalimat atau klausa; dan oleh karenanya, analisis wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas seperti percakapan (wacana lisan) atau teks tulis.
            Berdasarkan beberapa pengertian analisis wacana tersebut, pengertian analisis wacana membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna apa yang ditulis oleh para penulis dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan penyapa secara lisan dalam percakapan, dan dengan mngemukakan pula konteks yang menyertai teks. Dengan demikian analisis wacana berupa upaya  menafsirkan suatu wacana yang tidak terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis.

2.      Sejarah Analisis Wacana
Sejarah analisis wacana dalam tulisan ini mengambil intisari dari paparan yang dikemukakan  Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008), Mulyana (2005) dan Sri Utari Subyakto Nababan (2000). Berdasarkan uraian yang telah mereka kemukakan, dapat diketahui bahwa hingga akhir tahun 1960-an, pada umumnya kajian bahasa masih berorientasi pada kawasan mikrolinguistik, yaitu kajian bahasa yang menelaah masalah bahasa secara internal bahasa, yakni kajian tentang tata kalimat (sintaksis); morfologi, dan tata bunyi (fonologi).
Dalam sejarah perkembangannya, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris menyatakan ketidak puasannya terhadap “tata bahasa kalimat”. Selanjutnya artikel “Discourse Analysis” yang dimuat di majalah Language nomor 28:1-3 dan 474-494  dipublikasikannya. Dalam tulisannya itu, Harris mengemukakan argumentasi tentang perlunya mengkaji bahasa secara komprehensif, tidak hanya berhenti pada aspek internal-struktural semata tetapi aspek eksternal bahasa juga perlu dikaji untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Seperti yang diungkapkan oleh Dede Oetomo, pernyataan Harris tersebut agak melawan arus aliran linguistik yang berkembang di Amerika yaitu aliran strukturalisme buah pikiran Bloomfield (1887-1949) yang dengan tegas memisahkan kajian sintaksis dari semantik dan hal-hal lain di luar kalimat (dalam Mulyana, 2005:67).
Awal tahun 1970-an mulai berkembang kajian bahasa yang menitikberatkan pada bidang makrolinguistik, yaitu telaah bahasa di atas tataran kalimat atau klausa. Dalam kajian makrolinguistik, orang akan mempermasalahkan bagaimana kalimat satu berhubungan dengan kalimat lain secara kohesif dan koheren untuk membentuk satuan kebahasaan yang lebih besar.  Salah satu bentuk kajian makrolinguistik adalah analisis wacana (discourse analysis).
Sementara itu, di Amerika muncul pendekatan sosiolinguistik yang dipelopori oleh Dell Hymes, yang antara lain  mengkaji masalah percakapan, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang nantinya berkembang menjadi kajian wacana yang lebih luas. Ia berpandangan agak berbeda dengan pendahulunya, yaitu Chomsky. Keberterimaan menurut Chomsky (1965) berbeda dengan keberterimaan menurut Hymes (1987). Melalui teorinya, Tatabahasa Generatif (Generative Grammar), Chomsky berpandangan bahwa kalimat yang gramatikal adalah kalimat yang sesuai dengan kaidah kebahasaan, menurut aturan atau sistem bahasa yang berlaku pada bahasa itu; sedangkan kalimat yang berterima adalah kalimat yang lebih cenderung dipilih untuk digunakan, lebih mudah dipahami, dan lebih alami. Bagi Hymes, kalimat yang berterima merupakan kalimat yang penggunaannya telah sesuai dengan konteks pemakaiannya.
Analisis wacana (discourse analysis) sebagi disiplin ilmu, baru benar-benar berkembang secara mantap pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu, misalnya Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), dan yang paling komprehensif adalah karya Van Dijk (1985).
Analisis wacana di Indonesia mulai diperhatikan sejak tahun 80-an bersamaan dengan munculnya kajian pragmatic dalam bahasa Indonesia. Bahkan pragmatic tertuang secara ekspisit dalam kurikulum pendidikan tahun 1984 di Indonesia.

3.      Data dalam Analisis Wacana
Data dalam analisis wacana adalah wacana yang merupakan satuan  bahasa. Satuan bahasa  dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Abdul Rani,Bustanul Arifin, dan Martutik(2006: 9) menyebutkan bahwa wacana dapat berbentuk lisan atau tulis. Lebih jelas mereka mengemukakan bahwa data dalam analisis wacana selalu berupa teks baik teks lisan maupun tertulis.           Brown and Yule (1996: 6) juga memakai teks sebagai istilah teknis untuk mengacu pada rekaman verbal tindak komunikasi. Mereka juga menjelaskan tentang realisasi teks yang terdiri atas teks tertulis dan lisan. Halliday dan Ruqaya Hasan ( 1994 :13) mengemukakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi. Yang dimaksud fungsi adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas- tugas tertentu dalam konteks situasi. Berdasarkan pengertian teks tersebut, semua bahasa yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi akan disebut teks. Bahasa tersebut mugkin dalam bentuk tutur dan tulis. 
Sri Utari Subyakto Nababan (2000) mengemukakan bahwa ruang lingkup analisis wacana dewasa ini sudah sangat luas. Kemudian dalam bukunya, Sri Utari subyakto Nababan memfokuskan ruang lingkup analisis wacana dalam bentuk analisis wacana lisan dan tulisan sebagaimana dikemukakan oleh Brown and Yule.  
Selanjutnya Halliday dan Ruqaya Hasan (1994 :97) menjelaskan bahwa kesatuan adalah sifat teks yang sangat penting dan struktur suatu teks berkaitan erat dengan konteks situasi. Atas dasar kaitan konteks dengan teks sebagai data dalam wacana, konteks juga merupakan data yang dipelajari dalam analisis wacana. Konteks dan bahasa tuturan maupun bahasa tertulis adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut didukung oleh pendapat beberapa ahli mengenai kajian analisis wacana.
Tentang fokus kajian analisis wacana,  McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks dalam telaah wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is concerned with the study of the relationship between language and the context  which it is use.  Analisis wacana mempelajari hubungan antara bahasa dan konteks yang melatarbelakanginya. Pendapat tersebut didukung  oleh Nunan bahwa konteks adalah konsep penting dalam analisis wacana. Nunan(1993: 7) menyebutkan context is an important concept in discourse analysi. Kategori konteks bahasa yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh McCharthy(1997: 5), yakni … written texts of all kinds, and spoken data, from conversation to highly institutionalized forms to talk.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, data kajian analisis wacana yang akan dikemukakan dalam pembahasan pada tulisan ini adalah data berupa teks lisan, teks tertulis, dan konteks.

C.  Pembahasan
1.      Wacana Lisan
Henry Guntur Tarigan (1987:55) mengemukakan pendapat bahwa, wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Wacana lisan sering pula dikaitkan dengan interactive discourse atau wacana interaktif. Menurut Brown and Yule(1996) wacana interaktif adalah.  Sedangkan Fatimah Djajasudarma (1994: 7) mengemukakan wujud wacana lisan dapat berupa (a) sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir. Ia mencontohkan obrolan warung kopi. Contoh yang lain dapat juga percakapan satu babak dalam drama, percakapan satu episode sebuah tayang bincang, atau percakapan lainnya yang lengkap. (b) satu penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan lengkap biasanya memuat gambaran situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa). Contoh penggalan percakapan yang merupakan bagian dari percakapan dan merupakan situasi yang komunikatif adalah:
Ica       : … .
Ania     : “Apa kau punya korek?”
Rudi    : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi”
Wacana lisan ini sangat familiar dan diproduksi setiap hari. Tentu setiap hari kita mendengar orang bercakap- cakap, khotbah, pdato, ceramah, deklamasi, dan lain sebagainya baik pada kehidupan nyata maupun lewat media elektronik.
     Sri Utari Subyakto Nababan (2002: 9- 15) mengemukakan teori-teori yang relevan untuk diterapkan yang mengacu pada wacana lisan:
  1. Teori tindak bahasa (speech acts)
Istilah tindak bahasa dalam bahasa Indonesia ada yang menyebutnya sebagai “tindak tutur”atau “tindak ujar”. Pada dasarnya ketiga istilah tersebut beresensi sama.
2.      Koherensi dan Kohesi dalam Wacana
Percakapan yang koheren ialah yang ujaran-ujarannya/kalimat-kalimatnya
saling terikat melalui makna. Bila hal ini tak terpenuhi disebut bukan wacana.
  1. Ciri- cirri Wacana Lisan
Sri Utari Subyakto Nababan (2002) membedakan perbedaan wacana lisan dan tertulis untuk menentukan cirri- cirri wacana lisan.
Wacana Lisan
Wacana Tulisan
1.    untuk interaksi (bermasyarakat) dan informasi
2.    kalimat subordinasi sedikit jumlahnya
3.    waktu berpikir sedikit; suatu respons harus segera diberikan
4.    komunikasi dua arah (tatap muka, telepon)
5.    kosakata yang umum dikethaui orang
6.    pembicara dapat sering mengulang kata,frasa,kalimat untuk tujuan penekanan sesuatu hal
7.    ada giliran berbicara dan interupsi dapat terjadi
8.    ada pengisi jeda dengan pemarkah (hm, apa itu, dsb.) dan diam
9.    intonasi sering menentukan nilai ilokusi
10.             ada unsur paralinguistik dan komunikasi nonverbal lainnya
11.             ada feedback dan repair
1.      untuk penyimpanan informasi dan pengetahuan (dokumentasi)
2.      kalimat subordinasi lebih banyak jumlahnya
3.      waktu berpikir lebih lama. Kalimat dapat disusun secara cermat
4.      komunikasi dua arah, tetapi pembaca dan penulis tak dapat segera bertanya-jawab
5.      kosakata lebih khsuus, sesuai keperluan atau tujuan
6.      penulis tidak mengulang kata, frasa atau kalimat, kecuali untuk tujuan gramatikal
7.      tidak ada giliran dan tidak ada interupsi
8.      tidak ada pemarkah atau diam
9.      tidak ada intonasi
10.  tidak ada unsur paralinguistik atau komunikasi nonverbal
11.  tidak ada feedback dan repair


  1. Intonasi dalam Wacana Lisan
Intonasi ujaran dalam komunikasi atau interaksi lisan sangat banyak maknanya. Bahkan perbedaan intonasi dapat menimbulkan reaksi mitra tutur yang berbeda.Misalnya seseorang dengan intonasi tinggi akan ditangkap oleh mitra tutur kalai ia sedang marah.

2.      Wacana Tulis
                 Wacana tulis atau written discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis (Henry Guntur Tarigan, 1987: 52). Ada orang yang mengaitkan wacana tulis dengan written text yang mengimplikasikan non- interactive monologue atau monolog yang tidak iteraktif, yaitu monolog yang tidak saling mempengaruhi. Wacana tulis dapat berupa wacana tidak langsung, wacana penuturan, wacana prosa, serta wacana puisi.
                  Fatimah Djajasudarma (1994: 8) menjelaskan bahwa wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud (a) sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh,misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, atau sepenggal uraian ilmiah. (b) sebuah alinea merupakan wacana apabila dianggap sebagai satu kesatuan korelasi dan situasi yang utuh (c) Sebuah wacana mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk.
                 Sri Utari Subyakto Nababan (2002: 38) mengemukakan pembagian teks tertulis menurut kaitan studi dengan pengajaran bahasa, yakni pembagian dalam analisis teks non- sastra dan analisis teks sastra dari sudut pandang kebahasaan yang umumnya disebut kajian stilistika.
                 Stilistika dalam analisis wacana lebih menekankan sastra sebagai wacana, bukan sebagai kalimat- kalimat lepas yang dirangkai menjadi satu sajak (Sri Utari Subyakto Nababan (2002: 65). Ia menambahkan dengan mengutip pendapat Widdowson mengatakan bahwa yang harus diperhatikan dalam analisis sastra sebagai wacana ialah penyimpangan- penyimpangan struktur dalam satu sajak tidak terjadi secara acak, tetapi disusun oleh penyair secara terpadu agar merupakan suatu wacana yang lengkap. Analisis wacana tertulis pada tulisan ini difokuskan pada wacana lisan berdasarkan sudut pandang yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa, yakni teks non- sastra dan teks sastra.
                 Berikut contoh wacana tulis non- sastra berupa sebuah alenia dari penggalan artikel  Koran:
                        James Bond, meraup penghasilan US$4.907.400.000dari 22 film, tokoh Bond yang diciptakan oleh Ian Lening ini, rata- rata setiap filmnya menghasilkan US$223 juta bagi produsernya. Bahkan dua instalment terakhirnya, Casino Royale dan Quantum of Solace mendatangkan fulus lebih dari US$1 milyar…. .
                                    (SOLOPOS, Minggu Pahing, 4 April 200, hal. VIII)  
                 Berikut contoh wacana non- sastra yang dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk:   
                 Ade mencintai bapaknya, saya juga.
Ketidakhadiran verba dan objek yang diramalkan pada klausa ke dua “saya juga” adalah klausa “mencintai bapak saya” atau “mencintai bapak Ade”.
                 Berikut ini contoh wacana sastra berupa puisi:
                 :   DOA KEMERDEKAAN
                
                 Ya Allah ya Tuhan kami
                 Di hari kemerdekaan
                 Negeri kami
                 Kami memohon kepadaMu,
                 Ya Allah
                 Ilhamilah kami untuk dapat
                 Menyadari dan mensyukuri
                 Dengan benar rahmat agung
                 anugerahMu,
                 nikmat kemerdekaan kami
                
Mustofa Bisri, Jawa Pos, Minggu 23 Agustus 2009)

     Berikut ini contoh wacana sastra berupa penggalan prosa:
                 Rasanya aku mengenal perempuan,yang bergenggaman tangan dengan pria asing,tampan tinggi tegap, yang berdiri di depan pintu masuk restoran itu. Ia persis sekali Belo, kawan sepermainanku di dusun, yang bercita- cita ingin menjadi istri lelaki kaya, yang memberinya rumah gedong, mobil colt, dan took kelontong!
     Jika benar itu Belo, aku gembira melihatnya di kala pikiranku kalut dan pasrah seperti ini.
(Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009. “Belo yang Ingin Diperistri Lelaki Kaya Itu …”)
Berikut ini contoh wacana sastra berupa penggalan drama:
                  Diruang itu terdapat sebuah meja kuno, beberapa buah kursi dan sebuah amben (balai-balai) terbuat dari bamboo. Sebuah lampu gantung di atas meja.

Adegan pertama
1.      Hadi                : (sedang membersihkan pistolnya sambil tiduran)                                  “Capek,kalian ?”
2.      Narta               : (sambil melinting rokok) “Cukupan, Pak!”
3.      Nasrun             : (Sambil menguap) “Masih mengantuk ,                                                        Pak! Malas saya membuka mata. Capek begini,                                             mandi enak rasanya.”
4.      Narta               : “Memang semalam- malaman kita patrol.     Tidak                                       tidur. Keadaan agak gawat, Srun. Tapi  mengapa                                             kau tidak pergi mandi?”
(Sandiwara Kecil, Oleh FX. Surana (1983: 14), diterbitkan oleh Tiga Serangkai, Surakarta), Judul:  “Pahlawan Sabrang”)
                 Sri Utari Subyakto Nababan (2002: 38-48) juga mengungkapkan beberapa teori yang relevan dengan analisis tulisan non- sastra, yakni: (a) Sudut pandang (point of view), (b) interpretasi wacana, dan (c) peran konteks (situasi) dalam interpretasi analisis wacana.      
                 Sri Utari Subyakto Nababan (2002: 75) mengemukakan beberapa teori yang relevan dengan analisis wacana sastra, yakni struktur narasi, enjambemen, tematisasi, redundansi, dan pembicaraan dan penerima pesan.    

3.      Konteks dalam Wacana
   Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan ,sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Menurut Halliday dan Hassan (1985:5), yang dimaksud konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Konteks sangat menentukan makna suatu ujaran . Berikut contoh pentingnya sebuah konteks dalam wacana:
(a.)  Penutur seorang anggota regu pramuka .pendengar adalah anggota lain. Tempat kejadian di sebuah hutan yang lebat di Kabupaten Malang, waktunya sore hari menjelang magrib.Regu itu telah lama mencari jalan ke lereng sebuah  bukit tempat berkemah. Mereka sekarang harus menempuh hutan yang lebat. Mula-mula mereka ragu,tetapi pimpinan regu itu lalu maju dan mendahului kawan-kawannya menebas kayu-kayuan untuk membuat jalan.
Seorang anggota regu itu berkata: Aku tahu Wildan memang pemberani!
     ( b) Penutur seorang pemuda kampung yang sedang bersantai di mulut gang Pendengarnya adalah kawan-kawannya.Tempatnya di pos siskamling di mulut gang,waktunya malam hari selepas isya.Sekelompok pemuda sedang mengusik dua orang gadis yang lewat di depan mereka,Wildan tinggal diam dan tidak mau ikut-ikiutan .Semua pemuda di situ meledak seorang gadis dengan mencowel pantatnya,tetapi Wildan tetap  diam saja.Salah seorang pemuda berkata :Aku tahu Wildan memang pemberani!
            Unsur kalimat ‘ Aku tahu Wildan memang pemberani.’pada situasi (a) terdapat pula pada situasi (b) .Unsur kalimat itu secara gramatika sama benar.Akan tetapi,arti kalimat pada (a) jauh berbeda dengan arti yang terdapat pada (b) pada contoh (a) kata pemberani bermakna sebenarnya yaitu orang yang tidak gentar’sedangkan dalam (b) kata itu berarti sebaliknya ,yaitu ‘penakut’atau ‘pemalu’.Jadi,pentingnya mengetahui konteks sehingga mengakibatkan perbedaan yang mencolok antara kedua kalimat yang sama tetapi berbeda konteksnya.
                   Sri Utari Subyakto Nababan (2002: 45) mengutarakan bahwa konteks situasi mempunyai peran yang sangat penting dalam interpretasi wacana lisan maupun tulisan. Selanjutnya ia mengkategorikan konsep konteks terdiri atas konteks pragmatic dan konteks situasi.
                   Konteks wacana berdasarkan pendekatan pragmatik dikemukakan oleh Brown dan Yule. Menurut Brown dan Yule (1996) menganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatis untuk memahami penakaian bahasa. Konteks  wacana berdasarkan pendekatan Pragmatik menurut Brown adan Yule antara lain:
(1)   Praanggapan
             Didalam analisis wacana ,praanggapan memegang peranan penting di dalam menetapkan keruntutan wacana Menurut Filmore (1981) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008) memaparkan bahwa dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat komunikasi yang implisit dan eksplisit. Dengan kata lain praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.
Contoh:  Ayah saya datang dari Surabaya.
                   Dalam contoh di atas praanggapan adalah : a) Saya mempunyai ayah ; b) Ayah ada di Surabaya. Oleh Karena itu ,fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respons orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
(2)   Implikatur
                  Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P.Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantic biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah
Contoh: Dia orang Madura karena itu dia pemberani.
             Pada contoh itu penutur tidak langsung menyatakan bahwa suatu cirri disebabkan oleh cirri lain (jadi orang Madura).tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti iti ada.
(3)   Inferensi
Inferensi atau penarikan simpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) dalam Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008) sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan .
 Contoh : A: “Saya baru brtemu dengan si Toni.”
B: “ Oh,si Toni kawan kita di SMA itu?”
A: “Bukan ,tapi Toni kawan kita di SMP dulu.”
B: “Toni yang gemuk itu?”
A: “ Bukan ,bukan Toni yang gemuk, tetapi Toni yang kurus.”
B: “ Oh,ya,saya tahu.”
                  Pada ujaran pertama si B salah tanggap .Yang tergambar di benaknya adalah si Toni teman di SMA.Setelah diterangkan oleh A bahwa Toni itu teman SMP ,si B salah tanggap lagi ,karena yang diduga adalah Toni yang bertubuh gemuk.Sesudah kalimat yang ketiga dari A ,baru B paham siapa si Toni sebenarnya.
                   Menurut Anton M. Moeliono (1988:336) dan Samsuri (1987:4), konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.
        Mulyana (2005) dan   Sri Utari Subyakto Nababan (2002) mengutip pendapat Dell Hymes tentang unsure unsure konteka / situasi. Dell Hymes merumuskan dengan baik sekali faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
S : Setting and scenne, yaitu latar dan suasana. Latar   (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.
P : Participants, peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung, seperti usia, pendidikan, latar sosial, dan sebagainya.
E : Ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri.
A    : Act Sequences, pesan atau amanat, terdiri dari bentuk pesan  dan isi pesan.
K : Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan antara lain serius, santai, akrab.
I : Instrumentalities, sara, yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan tersebut dilakukan, misalnya dengan cara lisan atau tulis, radio, dan sebagainya.
N : Norm, norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara membicarakannya: halus, kasar, terbuka, dan sebagainya.
G : Genres, jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacan yang disampaikan, misalnya wacana telepon, wacana koran wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.
            Dalam setiap interaksi verbal selalu terdapat beberapa factor peranan dalam peristiwa .Mengutip pendapat Hymes ,Brown (1996 :89) menyebutkan bahwa komponen tutur yang merupakan cirri konteks ada delapan yaitu ;1) penutur,2) pendengar,3) pokok pembicaraan,4) latar,5) penghubung:bahasa lisan/tulisan,6) dialek,7) bentuk pesan dan 8) peristiwa tutur. Berikut kontekas situasi yang menjadi kajian dalam tuisan ini.
(1)   Latar Peristiwa dan Suasana
Latar peristiwa dapat berupa tempat, waktu, keadaan psikologis partisipan.misalnya, perayaan kenegaraan menyambut peringatan Hari Ibu, bentuk wacana : saudara- saudara!Sampeyan tahu to,hari ini Hari  Ibu? Kalonggak tahu,ya kebacut gitu aja. Wong sekarang kita memperingatinya meskipun dalam situasi krismon.
(2)   Penutur dan Pendengar
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut partisipan.Contoh yang diberikan Lubis (1993:85)
Contoh: Operasi harus segera diselenggarakan.
Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami manakala kita tahu sipenuturnya.Jika penuturnya seorang dokter ,ujaran itu bermakna ‘ pembedahan;jika yang bertutur seorang ahli ekonomi ,maknanya bisa jadi bahan makanan kepasar;jika yang berbicara penjahat.mungkin artinya ‘perampokan ;dan jika yang berbicara polisi,maksudnya berubah menjadi ‘razia’.Jadi,makna wacana ditentukan oleh siapa penuturnya.
(3)   Topik Pembicaraan
 Topik pembicaraan ,pendengar akan sangat mudah memahami isi wacana ,sebab topic pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda. Contoh: kata banting dalam sebuah wacana akan bervariasi maknanya ,bergantung pada topic pembicaraannya. Dalam bidang ekonomi,mungkin ,berarti’kemurahan hati’; kalau topiknya olahraga yudo tentulah maknanya ‘mengangkat seseorang dan menjatuhkan dengan cepat’.
(4)   Bentuk Pesan
Pesan yang disampaikan harus tepat,karena bentuk pesan bersifat fundamental dan penting. Bentuk pesan bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan disampaikan akan susah dicerna pendengar.
(5)   Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topic tutur. Ujaran tulis merupakan sarana komunikasi dengan menggunakan  tulisan sebagai perantaraannya. Jenis sarana seperti berwujud surat, pengumuman, edaran, undangan, dan lainnya.
(6)   Kode
Kode penghubung itu lisan ,kode dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Pemilihan kode bahasa tidak tepat sangat berpengaruh pada efektivitas komunikasi.
Contoh: Panganane wis entek mbokan?
            Jika yang diajak bicara penutur bahasa Jawa dialek Banyumas pasti paham, tetapi jika penutur bahasa Jawa dialeg yang lain belum tentu paham karena mbokan hanya ada di dialeg Banyumas.

(7)   Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah peristiwa tutur yang mewadahi kegiatan bertutur ,misalnya pidato ,percakapan,seminar,siding pengadilan dan lainnya. Hymes dalam Brown and Yule (1996) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungan dengan latar peristiwa,dalam pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi. Peristiwa tutur dapat menentukan bentuk dan isi  wacana  yang dihasilkan.

D.  Simpulan
            Berdasarkan uraian kajian teori dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan:
1.      Hakikat  wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antar bagian (kohesi), keterpaduan (koheren), dan bermakna (meaningful), digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial.
2.      Analisis wacana (discourse analysis) sebagi disiplin ilmu, baru benar-benar berkembang secara mantap pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu, misalnya Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), dan yang paling komprehensif adalah karya Van Dijk (1985).  Sedangkan analisis wacana di Indonesia mulai diperhatikan sejak tahun 80-an bersamaan dengan munculnya kajian pragmatic dalam bahasa Indonesia. Bahkan pragmatic tertuang secara ekspisit dalam kurikulum pendidikan tahun 1984.
3.      Data kajian analisis wacana yang dikemukakan dalam pembahasan pada tulisan ini adalah data berupa teks lisan, teks tertulis, dan konteks yang menyertai teks.


Daftar Pustaka
Amir Purba. 2007. Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis.  tClose            http://dictum4magz.wordpress.com. diunduh Jumat 12 Maret 2010,            pukul 18.00

Anton M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Discourse Analysis. Cambridge:    Cambridge University Press.

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT          Gramedia Pustaka Utama.

Cook,Guy. 1997. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Fairlough, Norman. 1997. Critical Discourse Analysis: The Critical Study    of         Language. London: Longman

Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan antar Unsur.             Bandung: Eresco.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks:    Aspek-             aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.    Yogyakarta: Gadjah    Mada University Press.

Hasan Alwi, et.al. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonasia. Jakarta:       Balai    Pustaka.

I.G.D. Oka dan Suparno. 1994. Linguisik Umum. Jakarta: Depdikbud.

Levinson. 1991. Pragmatics. Cambridge: CU Press.

McCarthy, Michael. 1990. Vocabulary. Oxford:  Oxford University Press

McCarthy, Michael. 1997. Discourse Analysis for Language Teachers.        Cambridge: Cambridge University Press.

Martutik. 2009. Hakikat Wacana dan Wacana Bahasa Indonesia.    http://pustaka.ut.ac.id. diunduh Jumat 12 Maret 2010, pukul 18.00.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana:Teori, Metode, dan Aplikasi prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nunan, David. 1993. Introducing Discourse Analysis. London: Penguin      Books

Purwo Hayono. 2003. “Analisis Wacana “Mimbar Informasi” pada Radio Siaran Pemrintah Daerah Kabupaten Klaten” dalam Teori dan         Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta

Samsuri. 1988. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Sarwiji Suwandi. 2008. Serbalinguistik. Surakarta: Sebelas Maret    University
            Press.

Sri Utari Subyakto Nababan. 2000. Analisis Wacana dan Pengajaran Bahasa         (Modul Pembelajaran Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta). Jakarta: IKIP    Jakarta.

Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta:          Pustaka Cakra Surakarta.

Stubbs, Michael. 1984. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited.
Hendry Guntur Tarigan. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
 

Blogger templates

Blogroll

About